Kalau dahulu dan lebih-lebih di zaman Rasulullah kemudian dilanjut dengan para sahabat, kerabat, para ulama masih memiliki pengaruh kuat dizaman itu, maka kata Insya Allah sesungguhnya nyaris bermakna atau berarti sebuah 'kepastian' kecuali Allah berkehendak lain. Artinya bahwa begitu beliau-beliau mengucapkan kata 'Insya Allah' dalam sebuah janji, atau disaat beliau-beliau diminta untuk hadir pada suatu acara tertentu, maka itu adalah suatu jaminan akan sebuah kepastian bahwa mereka akan datang, mereka akan menghadiri, mereka akan menepati janji apabila di tinjau dari sisi kapasitas mereka selaku 'manusia', terkecuali Allah berkehendak lain barulah hal itu tidak bisa terealisasi.
Namun dimasa sekarang, orang begitu gampang mengucapkan kata 'Insya Allah' sekalipun untuk sesuatu yang sebenarnya sulit untuk ia lakukan baik dipandang secara teknis, waktu, tempat, dan lainnya. Artinya sangat kecil kemungkinannya dapat ia penuhi. Bahkan tidak sedikit pula orang yang mengucapkan kata itu sesungguhnya sudah terbesit di dalam hatinya untuk tidak merealisasikan ucapannya itu. Ucapan itu sengaja disampaikan hanya dimaksudkan sekedar untuk pemanis.
Hanya saja, pemanis atau tidak pemanis, dengan ucapan itu tentu orang akan berharap kehadirannya, kedatangannya, ketepatan janjinya, dan lain-lain.
Semestinya agar tidak memberi harapan alangkah baiknya nyatakan saja dengan sejujurnya misalkan: Mohon maaf, saya tidak bisa memenuhi janji karena bla...bla...., sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya. dst. dst.
Namun nyatanya orang tetap mengatakan 'Insya Allah', sekali lagi..., walau untuk sesuatu yang tidak mungkin dapat ia lakukan. Karena dianggapnya bahwa pengertian atau makna kata 'Insya Allah' adalah hanya tergantung sikon dan tergantung perasaan hati belaka, bukan tergantung pada ketentuan Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar